Minggu, 09 Februari 2025

Pastor Fransiscus Runtu Ingatkan Pentingnya Kronik Dalam Sebuah Sejarah

 

Pastor Fransiscus Antonio Runtu Pr.

 

Sejarah tidak akan lestari tanpa catatan. Hal ini ditekankan oleh Pastor Paroki Bunda Teresa Dari Calcutta Griya Paniki Indah (BTDC GPI) Pst. Fransiscus Runtu Pr., mengingatkan betapa pentingnya kronik dalam mendokumentasikan perjalanan suatu komunitas, khususnya dalam kehidupan gereja.

Kegiatan dari Bidang IV DPP ini dihadiri Koordi Bidang IV Donny O Mamahit dan Komsos, Pastor Rekan PSt., Silvianus Yan Koraag Pr., dan diikuti para ketua, sekretaris serta utusan Wilayah Rohani serta Kelompok Kategorial.

“Setiap kegiatan yang bersifat rutin dan strategis perlu didokumentasikan,” sebut Pastor Fransiscus dalam kegiatan sosialisasi pembuatan kronik dan penggunaan media sosial dalam pewartaan serta penjaringan anggota Komsos, Selasa 4 Februari 2025 di aula pastoran. 

Menurut Pastor, tanpa pencatatan yang baik, generasi mendatang akan kehilangan jejak sejarah mereka sendiri. 

“Banyak paroki merayakan 100 tahun, 150 tahun, bahkan 200 tahun keberadaannya. Namun, jika tidak ada dokumen yang mencatat tonggak-tonggak sejarah tersebut, bagaimana generasi berikutnya mengetahui dan memahami perjalanan panjang komunitas mereka?,” tutur Pastor Angki sapaan akrabnya.


Lanjutnya, kronik bukan sekadar catatan biasa; ia menjadi bukti nyata bahwa suatu peristiwa pernah terjadi. Pastor Fransiscus mencontohkan bahwa gereja tidak hanya merayakan usia berdirinya saja, tetapi sebenarnya ada peristiwa penting lainnya, seperti 100 tahun baptisan pertama. Walaupun orang yang dibaptis sudah tidak ada, catatan tersebut tetap menjadi penanda sejarah yang menunjukkan sejak kapan gereja ini berkembang.

“Maka apa yang ada dalam catatan gereja atau didokumentasikan sangatlah penting,” ungkapnya.

Lebih lanjut dijelaskan Pastor Angki, dalam dunia modern, dokumentasi sering kali hanya berupa foto atau rekaman video. Namun, menurutnya, foto saja tidak cukup karena tidak mempresentasikan apa yang sebenarnya terjadi. “Banyak foto diambil, tetapi apa yang sebenarnya terjadi dalam foto itu? Mengapa foto itu diambil? Dalam rangka apa?” ujarnya, seraya menambahkan foto hanya menangkap momen, tetapi tidak menjelaskan latar belakang, makna, dan dampak dari suatu peristiwa. Menulis tentang suatu peristiwa memberikan konteks yang lebih kaya dibandingkan hanya menyimpan gambar tanpa keterangan.

Pastor Fransiscus menegaskan bahwa menulis kronik tidak harus rumit. Cukup dengan menjawab enam pertanyaan dasar, yaitu:

  • Kapan (Waktu kejadian)

  • Apa (Peristiwa yang terjadi)

  • Siapa (Orang atau pihak yang terlibat)

  • Di mana (Lokasi peristiwa)

  • Mengapa (Alasan atau latar belakang kejadian)

  • Bagaimana (Cara atau proses terjadinya peristiwa)

Menurut Pastor Angki, unsur-unsur ini bisa ditulis dalam bentuk singkat, bahkan hanya satu kalimat per poin. Unsur-unsur itu bisa ditukar-tukar penempatannya. Terpenting bukan panjangnya tulisan, tetapi kebiasaan untuk mencatat setiap peristiwa penting yang terjadi.

Sebagai contoh, Pastor Fransiscus mengingat kembali jurnal kebun seminari yang ia buat saat bertugas di Seminari Kakaskasen pada tahun 1999. “Catatan itu dibuat setahun setelah saya ditahbiskan sebagai imam dan kini, 25 tahun kemudian, masih menjadi referensi berharga. Ini membuktikan bahwa kronik bukan hanya bermanfaat untuk saat ini, tetapi juga untuk masa depan,” paparnya juga menambahkan setiap dua bulan buku kronik itu akan dikumpul.

Pastor Angki Runtu mengakui ke depan, pencatatan kronik dapat dilakukan secara digital jika gereja memiliki platform dan server yang memadai. Dengan digitalisasi, catatan akan lebih mudah diakses, disimpan dengan aman, dan diwariskan ke generasi berikutnya tanpa risiko hilang atau rusak.(Roy)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar